Ruang Terbuka Hijau “Kekinian” di Wilayah Perkotaan
Abstrak
Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
menyebabkan keterbatasan ketersediaan lahan untuk RTH, khususnya di wilayah
perkotaan. Pentingnya RTH bagi wilayah perkotaan selain menambah nilai estetika
juga dapat bermanfaat sebagai pencegahan pencemaran udara serta mampu
memberikan fungsi ekologis dan fungsi ekonomis bagi masyarakat perkotaan itu
sendiri. Menurut kebijakan yang menyangkut eksistensi RTH di perkotaan yaitu
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, menyebutkan bahwa RTH
sendiri dibagi menjadi RTH publik dan RTH privat. RTH publik sulit diwujudkan
melihat minimnya ketersediaan lahan yang ada, sehingga perlunya menciptakan RTH
privat untuk dapat mengatasinya. Tulisan ini berusaha mengajak pembaca untuk
dapat mewujudkan keselarasan lingkungan dengan menciptakan RTH privat di rumah
masing-masing ataupun dengan membuat kebijakan khusus untuk bangunan-bangunan
kondomium yang saat ini sedang marak-maraknya.
I.
Pengantar
Berdasarkan
pendapat Iswari (2014) bahwa pertumbuhan dan perkembangan perkotaan yang
meningkat dari tahun ke tahun dan mempengaruhi jumlah penduduk yang tinggal di
perkotaan akan menyebabkan permintaan akan kebutuhan ruang dan lahan mengalami
peningkatan baik untuk daerah pemukiman maupun lahan bisnis dan industri. Pertumbuhan
penduduk dari tahun ke tahun yang cenderung meningkat tidak dapat dipungkiri.
Terlebih di wilayah perkotaan yang notabene sebagai tempat tujuan penduduk yang
menjanjikan. Wilayah perkotaan pada
umumnya merupakan pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan, sehingga hal
tersebut menjadi salah satu faktor penarik dan pendorong masyarakat untuk
membangun permukiman di kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk berbanding
lurus dengan pertumbuhan permukiman namun berbanding terbalik dengan
ketersediaan lahan yang ada.
Pembangunan
perkotaan yang mengarah pada sektor ekonomi dimana usaha untuk pemenuhan lahan
yang menguntungkan dilihat dari sisi sektor ekonomi tentu akan memberikan
dampak nyata bagi kualitas lingkungan, terlebih bagi pembangunan yang kurang
mengedepankan aspek. Wilayah perkotaan saat ini sedang gencar-gencarny
pembangunan hunian vertikal dan kondomium seperti hotel, penginapan, villa, dsb.
Akibatnya permintaan lahan akan semakin meningkat seiring berjalannya waktu dan
berkurangnya ruang lahan untuk kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan sekaligus juga
tercantum dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa
proporsi RTH pada wilayah perkotaan minimal sebesar 30% yang terdiri dari 20%
ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat.
Proporsi 30% tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
II.
Pembahasan
a.
Peran
RTH
Peran dan manfaat penting lainnya dari
RTH adalah mampu menjaga keseimbangan
interaksi dan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan
sebagai salah satu wujud terbentuknya kawasan perkotaan yang berkelanjutan (Rahmy,
dkk, 2012). RTH memiliki berperan dalam meningkatkan mutu
lingkungan perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih, dan sebagai sarana
pengaman lingkungan perkotaan serta menciptakan keserasian lingkungan alam dan
lingkungan binaan yang berguna bagi masyarakat yang tinggal. Serta diharapkan
dapat mewujudkan tata lingkungan yang serasi antara sumber daya alam, sumber
daya buatan, sumber daya manusia bagi kualitas hidup penduduk kota (Widigdo
dan Canadarma 2005). Sementara itu menurut Mawardah dan
Mutfianti (2013) peran besar RTH yaitu dapat membentuk karakter kota. RTH juga membantu
dalam mewujudkan konsep kota hijau yang menjadi salah satu alternatif
penyelesaian permasalahan wilayah perkotaan kota di Indonesia sebagai bagian
dari proses pembangunan dan peremajaan kota (Ratnasari,
dkk.,2015). Fungsi, peran, dan manfaat RTH yang sudah dijabarkan
sebelumnya relatif menjelaskan dari sudut pandang ekologis dan estetika. Fungsi
lain yang dimiliki ruang terbuka hijau adalah fungsi ekonomi yang dicantumkan
dalam Peraturan Menteri. Fungsi ekonomi yaitu berupa sumber produk yang bisa
dijual seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur dan bisa menjadi bagian
dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain- lain.
b.
Klasifikasi
RTH
Topik mengenai ruang terbuka hijau ini
tentu perlu dianalisis karena banyaknya manfaat dan peran penting RTH yang
sudah dijabarkan sebelumnya. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan RTH
perlu ditingkatkan lagi agar terwujud perilaku sadar lingkungan sebagai salah
satu upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sementara itu untuk mngatasi
masalah ketersediaan lahan untuk ruang terbuka hijau pada zaman sekarang
khususnya di wilayah perkotaan. Tindakan dan upaya pemenuhan RTH memerlukan
strategi pengelolaan yang inovatif dan berkelanjutan agar dapat membangun
ruang terbuka hijau ditengah keterbatasan lahan (mpkd.ugm.ac.id). Inovasi
pengelolaan ruang tentunya harus mengikuti perkembangan zaman supaya mampu
menarik perhatian, memiliki kesan, dan atau istilah lainnya “kekinian”. Cara-cara
kreatif dan inovatif untuk dapat mempertahankan ruang terbuka hijau saat ini
sebenarnya sudah terbilang cukup banyak dan bervariatif mengingat semakin
berkembangnya teknologi dan informasi yang mampu mendukung pengelolaan ruang.
Menurut kebijakan yang
berlaku ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Klasifikasi RTH
terbagi menjadi 2 yaitu: RTH publik dan RTH privat. Contoh dari suatu bentuk
ruang terbuka hijau bermacam-macam, dapat dilihat dalam tabel kepemilikan RTH
sebagai berikut:
tabel klasifikasi RTH
(Sumber
: Peraturan Menteri PU)
Pengertian RTH publik adalah
RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Sedangkan pengertian RTH
privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang
pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman
rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Tabel tersebut
cenderung masih mengisyaratkan bahwa RTH melekat pada suatu lahan, permukaan
bumi, tanah, dataran, padahal berdasarkan pengertian RTH privat, pada saat ini
dengan trend hunian vertikal pekarangan atau taman dapat berada di sebuah roof top ataupun balcon. Oleh sebab itu penyediaan ruang terbuka di suatu hunian
vertikal perlu diwajibkan. RTH yang dimaksud dapat berupa meletakkan pot-pot
tanaman di dinding maupun di lantai. Bahkan beberapa hotel saat ini disetiap
balconnya sengaja diletakka tanaman yang menjuntai untuk menunjang estetika
bangunan hotel. Apabila diterapkan pada seluruh hunian vertikal di Indonesia
sedikit banyak akan membantu mengatasi permasalahan lingkungan seperti
pemanasan global, pencemaran udara, penurunan kualitas udara.
c.
Upaya mewujudkan RTH Privat
Konsep ramah lingkungan
yang saat ini sedang berkembang adalah vertical
garden dan urban farming. Taman
vertikal menjadi solusi di lingkungan permukiman sebagai pengganti RTH karena
fungsi taman vertikal yang dapat mengganti fungsi RTH dalam lingkup mikro (Rawuli 2013). Urban Farming merupakan aktivitas pertanian di dalam atau di
sekitar kota yang melibatkan ketrampilan, keahlian, dan inovasi dalam budidaya
pengolahan makanan melalui pemanfaatan pekarangan dan lahan-lahan kosong (Wiyanti 2015). Konsep pengembangan
taman dan agrikultur (yang juga dapat dikatakan merupakan bentuk ruang terbuka
hijau) muncul akibat adanya keresahan minimnya ketersediaan lahan. Kedua cara
tersebut selain dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan RTH di suatu perkotaan
juga dapat memberikan pemenuhan kebutuhan pangan. Langkah untuk memulai
menerapkan kedua konsep tersebut di lingkungan rumah adalah dengan meletakkan
pot-pot tanaman di ruang yang memungkinkan dengan syarat intensitas cahaya yang
cukup. Selanjutnya tergantung kita bagaimana ketelatenan dalam merawat tanaman
tersebut.
Cara sederhana untuk meningkatkan
pemenuhan kebutuhan RTH saat ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
terbilang relatif mudah untuk diterapkan, baik di lingkungan rumah, sekolah,
maupun tempat kerja. Upaya tersebut dinilai cukup membantu dan efektif. Apabila
di suatu perkotaan RTH sudah terpenuhi, maka dapat meningkatkan kualitas
lingkungan secara langsung dan meningkatkan kualitas kehidupan secara tidak
langsung. Selain itu juga menambah fungsi nilai estetika yang dapat memperindah
suatu ruang. Beberapa wilayah perkotaan di Indonesia sudah memenuhi pemenuhan
kebutuhan RTH sekaligus memiliki tata kota yang baik dan memiliki nilai
arsitektur yang tinggi misalnya Kota Surabaya, Balikpapan, dan Surakarta. Kota
Balikpapan memiliki arahan pengembangan sabuk hijau (green belt) yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas udara (Fakhrian, dkk., 2015). Kota Surabaya sudah terkenal dengan penataan kota yang bagus
berbasis lingkungan. Tingginya peningkatan luas lahan perkembangan RTH di Kota
Surabaya yang dapat dilihat dalam tabel jenis RTH (Iswari 2014).
III.
Kesimpulan
Timbal balik yang
didapatkan dalam upaya pemenuhan RTH di wilayah perkotaan diantaranya adalah
peningkatan kualitas hidup masyarakat baik pada aspek kesehatan, sosial,
budaya, ekonomi, dan tentu saja lingkungan. Keseimbangan antara manusia dengan
alamnya juga dapat terwujud dan saling memberikan dampak positif, sehingga
manfaat yang didapat dari RTH bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga
orang lain dan lingkungan alam sekitar. Adanya persepsi wilayah perkotaan yang
cenderung berupa permukiman dan minimnya lahan untuk ruang terbuka hijau dapat
dibantah apabila masyarakat Indonesia mulai sadar dan peduli akan pentingnya
RTH melalui cara “kekinian” untuk menjawab tantangan pada zaman ini. Harapannya
agar masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya RTH bagi wilayah perkotaan.
Kota-kota di Indonesia yang dinilai kebutuhan RTH wilayah sudah terpenuhi juga
diharapkan dapat memotivasi wilayah perkotaan lain untuk semangat memanajemen
ruang khususnya RTH, sehingga turut memberikan dampak pembangunan yang positif
bagi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Daftar Pustaka
Fakhrian, Rakhman, Hilwati Hindersah, and Hani Burhanudin.
2015. “Arahan Pengembangan Sabuk Hijau (Green Belt) Di Kawasan Industri
Kariangau (KIK) Kota Balikpapan.” Prosiding Penelitian SPeSIA 15–21.
Iswari, Ardina Nur. 2014. “Strategi Dinas Kebersihan Dan
Pertamanan Kota Surabaya Dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) Untuk
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan.” Kebijakan
Dan Manajemen Publik 1(1):1–9.
Rahmy, Widyastri Atsary, Budi Faisal, and Agus R.
Soeriaatmadja. 2012. “Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Pada Kawasan.” Jurnal
Lingkungan Binaan Indonesia 1(1).
Ratnasari, Amalia, Santun R. P. Sitorus, and Boedi Tjahjono.
2015. “Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan Dan
Kecukupan RTH.” Jurnal Tata Loka 17(4):196–208.
Rawuli, Ahdian. 2013. “Taman Vertikal Sebagai Sistem
Pendingin Udara Alami Pada Pemukiman Perkotaan Malang.” Universitas Brawijaya.
Widigdo, Wanda and I.Ketut Canadarma. 2005. “Surabaya Sebagai
Kota Taman Atau ‘ Green City .’” (2003).
Wiyanti, annisya noer. 2015. “Implementasi Program Urban
Farming Pada Kelompok Sumber Trisno Alami Di Kecamatan Bulak Kota Surabaya.”
1–15.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan
http://mpkd.ugm.ac.id/id/inovasi-dalam-pengelolaan-ruang-terbuka-hijau-yang-berkelanjutan-di-kota-yogyakarta/
diakses oleh Karina pada tanggal 18 November
2017 pukul 17.39 WIB
Comments
Post a Comment